BantenBlitz.Com – Setelah terhenti selama tiga tahun, Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya) Banten kembali menggelar kegiatan yang menggugah semangat literasi melalui acara Writing Camp.
Sebanyak 70 peserta yang terdiri atas masyarakat umum, mahasiswa, dan pelajar dari berbagai daerah di Banten berpartisipasi dalam acara ini bertujuan untuk merajut kata-kata demi melestarikan budaya ini.
Writing Camp digelarkan di Vila Pantai Mandalika, Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang, yang berlangsung selama dua hari, dari 15 hingga 16 Februari 2025.
Di bawah langit biru dan iringan ombak yang berkejaran, peserta Writing Camp tidak hanya berfokus pada penulisan, tetapi juga mendapatkan wawasan dari para narasumber yang berpengalaman dalam dunia sastra dan jurnalistik.
Ketua Kubah Budaya Banten Yudi Damanhuri menekankan bahwa kegiatan ini lebih dari sekadar pelatihan menulis.
“Writing Camp ini bertujuan untuk meningkatkan budaya literasi di kalangan anak muda Banten, sekaligus menjadi ajang pelestarian budaya melalui seni sastra,” ujarnya kepada para peserta dengan penuh semangat.
Yudi berharap bahwa kegiatan ini tidak hanya menjadi sebuah momen singkat, melainkan menjadi awal dari perjalanan panjang dalam dunia literasi.
“Kami ingin kegiatan ini berkelanjutan agar ilmu yang telah mereka dapatkan bisa terus diterapkan dan berkembang,” lanjutnya, menegaskan komitmen komunitas dalam mendukung pengembangan literasi di kalangan generasi muda.
Acara ini menjadi wadah bagi peserta untuk bertemu dan berbagi pengalaman. Narasumber yang hadir adalah individu-individu berpengalaman yang telah mengabdikan diri dalam dunia literasi, banyak di antaranya adalah anggota Kubah Budaya itu sendiri.
Kubah Budaya bukan sekadar komunitas, tetapi sebuah gerakan yang lahir dari keprihatinan terhadap sejarah intelektual Banten yang sering terpinggirkan oleh narasi budaya lain.
Didirikan pada 2006 silam oleh Wawan Anwar, yang akrab disapa Wan Anwar, komunitas ini bertujuan untuk menghidupkan kembali jejak para ulama dan cendekiawan Banten yang namanya masih dikenal hingga ke Timur Tengah.
Muhammad Alfaris, salah satu penggiat Kubah Budaya, menjelaskan filosofi yang melatarbelakangi komunitas ini.
“Bagi kita kaum pelajar, risi rasanya jika hanya muncul dalam bayang-bayang politik dan identitas daerah. Kami ingin tampil dengan ideologi intelektual, bukan sekadar terjebak dalam arus kepentingan,” paparnya.
Bagi peserta, Writing Camp ini merupakan kesempatan langka untuk memperdalam kemampuan menulis dan memperluas wawasan.
Salah satu peserta, Anggita Raissa, seorang jurnalis muda, mengungkapkan hasratnya terhadap dunia penulisan.
“Aku ingin menulis fiksi atau karya jurnalistik. Aku sangat termotivasi oleh seorang jurnalis dari Yogyakarta yang pernah meliput peristiwa mistis di sana, lalu mengubahnya menjadi sebuah buku,” ungkap Gita dengan penuh semangat.
Dengan demikian, Writing Camp ini bukan hanya sekadar acara literasi, tetapi juga merupakan gerakan yang berupaya membangkitkan budaya. Di sini, kata-kata tidak hanya ditulis, tetapi juga diwariskan sebagai bagian dari identitas dan warisan budaya yang patut dilestarikan. (Red/Dwi)