Oleh: Uday Suhada
Sekumpulan anak muda yang tergabung di Indigenous Organic, sebuah organisasi sosial menggelar Forum Group Discussion dengan tema ‘Baduy dulu, kini dan nanti’ di caffee Men.Bar di bilangan Pondok Aren Tangerang Selatan, pada penghujung Mei 2025.
Dalam kesempatan itu, hadir sejumlah budayawan, akademisi, pegiat seni budaya, birokrat serta para pemuda pecinta Baduy, jurnalis dan perwakilan masyarakat adat Baduy, termasuk perwakilan dari BUMN, yakni PT Pertamina dan PT KAI.
Menurut Fasya Candrika selaku ketua pelaksana FGD, kegiatan tersebut digelar sebagai upaya untuk mencari formulasi agar ke depan tradisi leluhur di Baduy tetap terjaga.
Fasya menilai, perkembangan teknologi sangat mempengaruhi pola pikir, pola sikap dan perilaku anak muda Baduy. Sementara para tokoh adat sangat prihatin dengan kondisi tersebut.
“Maka forum ini diharapkan akan memberi solusi terbaik untuk Baduy,” kata Fasya yang diketahui sebagai keturunan ke-10 Pangeran Astapati, yang terlahir dari Kampung Cikeusik – Baduy Dalam.
Diketahui bahwa Pangeran Astapati adalah panglima perang Sultan Ageng Tirtayasa,dan dinikahkan dengan salah satu putrinya bernama Putri Dahlia.
Dalam FGD tersebut, tuan rumah sekaligus pecinta Baduy, Teddy Poernama merasakan perubahan suasana saat pertama kali ia berkunjung ke Baduy tahun 2007 dengan situasi saat ini.
Menurut Teddy, saat ini dirinya sudah tidak lagi menemukan suasana batin yang dahsyat seperti dulu jika ke Baduy. Ini karena semakin tidak terkontrolnya lalu-lalang para pengunjung (wisatawan).
Di tempat yang sama, VP CSR & SMEPP PT Pertamina, Rudi Arrifianto mengaku Pertamina juga terpanggil untuk turut serta merawat budaya Baduy ini. Oleh karenanya, pihaknya siap berkolaborasi dengan semua pihak yang memiliki visi yang sama.
Perubahan Sosial
Sebagai pemerhati Baduy yang diundang Indigenous Organic menjadi pemantik diskusi, saya menjelaskan mengapa Baduy tidak seperti dulu lagi.
Sejak bersentuhan pertama tahun 1994, perubahan di Baduy terjadi oleh dua faktor utama, yakni karena perkembangan teknologi dan karena semakin membludaknya jumlah orang yang berkunjung ke Baduy.
Sementara perubahan sosial di komunitas sosial di belahan bumi manapun adalah keniscayaan.
Saat ini hampir semua anak muda Baduy Luar memiliki smartphone. Sekitar 6.000 nomor ponsel, dimana 75 persen diantaranya digunakan untuk sekedar bermedsos.
Adapun warga Baduy Luar yang menggunakan gadget untuk bisnis hanya sekira 25 persen saja. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap pola pikir, sikap dan perilaku mereka.
Karenanya, para tetua adat Baduy Dalam, misalnya Jaro Tangtu Alim, Jaro Tangtu Sami, Ki Pantun Mang Karmaen merasa resah akan hal ini.
Baduy Bukan Tontonan
Atas perubahan yang terjadi, kini perlu dicari solusinya. Dalam jangka pendek, bagaimana mengatur ritme kunjungan warga luar.
Sebab ada keengganan dari warga Baduy dijadikan sebagai salah satu obyek wisata oleh pemerintah, maka pada tahun 2007 para tokoh adat meminta saya bersama (alm) Neli Wahyudin dan (alm) Budi Prakosa untuk menyusun draft Peraturan Desa (Perdes) Kanekes.
Kemudian lahirlah Perdes Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes, yang mengatur kunjungan warga luar.
Saat ini, dengan kemajuan teknologi, pola kunjungan Saba Budaya yang harus ditertibkan. Mereka boleh ke Baduy, tapi bukan menjadikan Baduy sebagai tontonan. Mereka sebuah peradaban yang memiliki 1001 tabu yang semestinya kita hormati, teladani, sebagai tuntunan.
Bahkan sejak sekitar 5 tahun yang lalu, para tokoh adat Baduy setuju jika dibuat suatu wadah yang disebut Pusat Informasi Baduy.
Wadah ini sangat mendesak, tak lain untuk memuliakan kehidupan dan memanusiakan manusia.
#savebaduy
Kota Serang, 1 Juni 2025
*) Penulis adalah Pemerhati Budaya