Oleh: Eko Supriatno
Kemarin ratusan nelayan melakukan unjukrasa di Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KUUP) Kelas III Labuan, Kabupaten Pandeglang, menyusul insiden kapal tongkang misterius yang menabrak KM Nanjung Sari, pada 12 September 2025 lalu, yang menewaskan satu anak buah kapal (ABK), Suwito.
Sementara empat ABK lainnya selamat. Hingga kini, identitas kapal tongkang penyebab kecelakaan belum diumumkan ke publik untuk bertanggung jawab.
Dua pekan berlalu, namun PLTU Banten 2 Labuan dan Syahbandar masih bungkam. Ini jelas merupakan simbol kegagalan pengawasan dan tanggung jawab sosial.
Publik menuntut kejelasan dan pertanggungjawaban. Nelayan menegaskan bahwa nyawa manusia tidak bisa digantikan retorika atau birokrasi tertutup.
Nyawa Suwito menjadi simbol kegagalan sistemik, dimana aparat pengawas, industri, dan pemangku kebijakan mengabaikan keselamatan warga.
Kasus ini menegaskan urgensi penegakan hukum tegas, transparansi publik, dan akuntabilitas penuh dari PLTU 2 Labuan.
PLTU bangga menyalakan listrik untuk kota-kota, tapi gagal menyalakan transparansi dan tanggung jawab sosial. Lebih peduli menjaga arus listrik ketimbang arus keadilan.
Pengawasan Gagal
Tragedi tenggelamnya nelayan Suwito akibat tabrakan dengan kapal tongkang batu bara, menegaskan lemahnya pengawasan pelayaran dan absennya tanggung jawab korporasi.
Hingga kini, identitas kapal penyebab kecelakaan belum diungkap, memperkuat kesan adanya “kapal hantu” birokrasi yang membiarkan tragedi berulang.
Kantor Syahbandar, yang seharusnya menjadi penjaga keselamatan pelayaran, justru bungkam.
Fungsi pengawasan tereduksi menjadi sekadar pemberi izin dokumen kapal besar. Apa artinya kantor megah dan seragam rapi kalau nelayan yang mati hanya dianggap angka statistik?.
PLTU 2 Labuan juga dinilai cuci tangan, lebih peduli produksi listrik daripada tanggung jawab sosial. Penundaan atau pengabaian fakta memperparah krisis kepercayaan dan membuka risiko korban berikutnya.
Lingkungan Terancam
PLTU 2 Labuan dianggap durhaka pada lingkungan. Polusi udara, pencemaran air, dan ceceran batu bara menjadi bukti nyata pengabaian tanggung jawab ekologis.
Sistem pengelolaan limbah abu terbang dan limbah cair masih buruk, memperlihatkan lemahnya pengawasan internal dan ketidakpatuhan terhadap standar lingkungan.
Program CSR dikuasai “raja-raja kecil”, manfaat jarang dirasakan masyarakat. Pekerja dieksploitasi: upah di bawah UMR, fasilitas minim, kondisi kerja tidak aman. Dampak ini juga mengancam kesehatan publik; emisi sulfur dioksida, nitrogen oksida, dan partikel halus meningkatkan risiko penyakit pernapasan dan kardiovaskular.
Operasional PLTU berjalan tertutup, minim dialog masyarakat, sehingga klaim pembangunan berkelanjutan hanyalah retorika tanpa bukti nyata.
Durhaka pada lingkungan, gagal mengelola limbah, CSR dikuasai ‘raja-raja kecil’, pekerja dieksploitasi, kesehatan warga terancam, dan transparansi hilang; itulah wajah nyata PLTU 2 Labuan yang seharusnya menjadi mercusuar kemajuan.
Hilangnya Keadilan
Aparat berjaga ketat menghalangi nelayan masuk ke kantor Syahbandar, sementara pemilik tongkang misterius bebas dari jerat hukum.
Inilah wajah hukum yang timpang: tajam ke nelayan, tumpul ke pemilik modal.
Bagi keluarga Suwito, laut yang selama ini menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi kuburan keadilan, sementara negara absen dalam memastikan perlindungan warganya.
Kalau negara lebih berpihak pada korporasi ketimbang keselamatan rakyat, tragedi Suwito bukan kecelakaan semata. Ia adalah bukti nyata kegagalan negara menjaga nyawa nelayannya sendiri.
Kasus ini menjadi panggilan keras bagi pemerintah, pengawas, dan masyarakat untuk menuntut kejelasan, penegakan hukum, dan akuntabilitas penuh.
Kegagalan pengawasan dan pengabaian tanggung jawab sosial tidak bisa lagi diterima.
Pandeglang, 26 September 2025
*) Penulis adalah Pengamat kebijakan publik, Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten