Oleh : H. Akhmad Jajuli
Negeri kita, Republik Indonesia, berkedaulatan Rakyat. Rakyatlah pemegang sah kedaulatan Republik ini. Rakyat pemegang kedaulatan tertinggi yang dijalankan oleh Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Ibarat atau perumpamaannya : Rakyat sebagai Pemilik Kebun, sedangkan Pejabat hanya sebagai “Pegawai Kebun”. Pemilik kebun pasti bertahan, adapun pegawai kebun bisa jadi mundur, dimundurkan, berhenti atau diberhentikan. Bisa silih berganti, datang dan pergi.
Bentuk Kedaulatan di negara kita berbeda dengan yang berlaku di Jepang. Mereka berkedaulatan Tuhan (Agama Shinto). Maka pemimpinnya terdiri dari “titisan” dewa, turun temurun: Kaisar Akihito berlanjut ke Kaisar Naruhito dan seterusnya.
Kedaulatan di Arab Saudi juga beda lagi, mereka berkedaulatan Raja. Posisi raja dijabat secara turun temurun, dari Raja Saud dan seterusnya hingga Raja Salman dan (nanti) seterusnya.
Tergolong Monarki Absolut. Contoh negara lainnya adalah Brunei Darussalam. Pada zaman dulu dikenal beberapa negara yang dipimpin oleh seorang Kaisar, sebut saja Rusia dan Zimbabwe. Tergolong berkedaulatan Raja.
Ada lagi Negara-negara yang tergolong Monarki Konstitusional; Kerajaan atau Kesultanan namun memiliki Parlemen. Ke dalamnya ada Australia, Belanda, Inggris, Spanyol, Thailand, dan lain-lain.
Jangan Merusak Kebun
Sebagaimana ibarat yang telah disebutkan di atas, maka Rakyat adalah Pemilik Kebun, sedangkan posisi para Pejabat atau Pegawai adalah “Pegawai Kebun”.
Apabila Pegawai Kebun tidak amanah, tidak lagi menjalankan Tugas Pokok dan Fungsinya (Tupoksi), ya harus diminta mengundurkan diri, atau dipaksa mundur atau diberhentikan saja. Jangan dipilih lagi.
Sebagai “Pemilik Kebun” ya jangan sekali-kali malah merusak kebun sendiri. Merusak pagar, merusak tanaman atau bahkan membakar kebun itu sendiri.
Maka Pemilik Kebun itu sendiri yang pasti mengalami kerugian. Padahal tidak perlu merusak dan membakar kebun sendiri, cukup meminta mundur atau memberhentikan Pegawai Kebun yang tidak amanah dan tidak menjalankan Tupoksinya dengan baik itu. Atau telah berperilaku tidak layak dan tidak patut itu.
Dalam konteks Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara ya cukup menyampaikan aspirasi saja. Cukup berdemo saja. Tidak perlu sampai mempersekusi pejabat, menjarah dan atau membakar fasilitas umum atau fasilitas perseorangan.
Yang rugi ya Rakyat lagi, harus membangun lagi. Padahal anggaran untuk kembali membangun fasilitas umum itu dapat dialihkan atau direalokasikan kepada kepentingan-kepentingan Rakyat lainnya yang tergolong mendesak.
Berunjuk rasa itu Hak Warga Negara (telah diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998), namun jangan lagi mengulangi perilaku buruk pendemo yang pernah terjadi pada tahun 1966, tahun 1974, tahun 1978, tahun 1998 serta pada tahun 2025 ini.
Demonstrasi itu Hak Warga Negara,.tapi ya itu jangan lagi melakukan pengerusakan-pengrusakan kepada aset Negara dan kepada Aset Perseorangan.
Praktik Bernegara
Tahun 1956 Bung Hatta (Drs. Mohammad Hatta) mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden (Wapres). Setelah berlangsungnya Pemilu pertama kali tahun 1955, Bung Hatta berpendapat bahwa harus segera dilakukan Pemilihan Presiden dan Wapres.
Sedangkan Bung Karno (Ir. Soekarno) berpendapat “belum saatnya” mengingat Pemilu 1955 belum menghasilkan UUD baru, sebagai pengganti UUD Sementara 1950 dan juga belum Dasar Negara.
Kerja-kerja Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955 mengalami jalan buntu (deadlock) hingga akhirnya Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959; kembali ke UUD Negara RI Tahun 1945 dengan “Semangat Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Apa yang menimpa diri Bung Karno lain lagi peristiwanya. Ketika Bung Karno menjalankan doktrin NASAKOM (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) maka sebagian besar Elit Bangsa saat itu masih “mentolerirnya”.
Namun ketika pecah peristiwa G 30 S/PKI pada tahun 1965 maka Rakyat tidak lagi bisa menerimamya. MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) yang diketuai oleh Jenderal TNI Dr. Abdul Haris Nasution langsung meminta Laporan Pertanggungjawaban Presiden Soekarno.
Pidato Bung Karno yang berjudul “Nawaksara” ditolak oleh Sidang Istimewa MPRS. Maka Bung Karno selaku Presiden RI dinonaktifkan pada tahun 1966.
Pak Harto (Letjen TNI Soeharto), Pangkopkamtib saat itu, diangkat oleh MPRS sebagai Penjabat Presiden RI. Setahun kemudian (1967) Pak Harto diangkat menjadi Presiden RI Definitif.
Akibat adanya Gerakan Reformasi oleh Mahasiswa dan Warga Masyarakat maka pada tanggal 21 Mei 1998, Pak Harto telah menyatakan Mengundurkan Diri sebagai Presiden RI. Pada hari yang sama, Wapres BJ Habibie, menggantikan posisi Pak Harto.
Lepasnya Provinsi Timor Timur (kini Negara Timor Leste) mengakibatkan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) Presiden BJ Habibie ditoleh oleh Sidang Umum MPR RI. Akibat berikutnya BJ Habibie batal mencalonkan diri menjadi Presiden. Pada SU MPR tahun 2000 Gus Dur (Abdurrahman Wahid) bersaing dengan Megawati Soekarnoputri.
Pada tahun 2002 Presiden Abdurrahman Wahid dilengserkan oleh MPR RI (diketuai oleh Prof. Amien Rais) karena dinilai terlibat dugaan korupsi “Bulogate” dan “Bruneigate”.
Juga karena telah mengeluarkan Dekrit Presiden untuk membubarkan DPR RI dan dinilai telah berupaya untuk menghapus Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan Ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme di Indonesia. Pelengseran yang dinilai penuh kontroversial hingga kini. Megawati dipilih oleh MPR RI menjadi Presiden RI menggantikan Gus Dur.
Pada Pilpres 2004, Paslon Megawati & Hasyim Muzadi berhadapan dengan Paslon SBY & JK, (Wapres) Hamzah Haz & Agum Gumelar, Wiranto & Solahudin Wahid serta Paslon Amien Rais & Siswono Judohusodo. Paslon SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) & JK (Muhamad Jusuf Kalla) memenangi Pilpres. Megawati dan Hamzah Haz selaku Petahana (Incumbent) tidak terpilih.
Adapun Presiden RI SBY (Periode 2004 – 2009 dan 2009 – 2014) dan Presiden RI Jokowi Widodo (2014 – 2019 dan 2019 – 2024) berhenti setelah masing-masing menjalankan dua periode masa jabatannya selaku Presiden RI.
Faktanya, ada yang telah mengundurkan diri, ada yang dipaksa untuk dimundurkan, ada yang diberhentikan, ada yang tidak terpilih lagi serta ada yang habis masa jabatannya habis dengan normal.
Penutup
Sebagaimana berlaku di negara-negara berbentuk Republik, maka berlaku juga di Indonesia bahwa Kedaulatan Negara berada di tangan Rakyat. Dengan jumlah penduduk hampir mencapai 300 Juta Jiwa maka tentu ada yang diekspresikan secara langsung (sebagaimana halnya dalam Pilkades, Pilkada, Pileg dan Pilpres).
Namun ada juga yang diwakilkan kepada para Anggota di Parlemen (BPD, DPRD, DPR dan DPD RI yg sekaligus sebagai Anggota MPR RI) dalam hal Legislasi (Penyusunan dan Pengesahan UU/Perda/Perdes), dalam hal Penyusunan dan Pengesahan Anggaran Negara/Daerah/Desa serta dalam hal Pengawasan Pembangunan secara Politik.
Sebagai Pemilik Kedaulatan kita bertanggungjawab atas jalannya kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara yang secara teknis dijalankan oleh Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Apabila ada Pejabat yang tidak amanah atau tidak bekerja sesuai Tupoksinya ya cukup diminta Mengundurkan Diri, atau Dipaksa Mundur, atau Diberhentikan — dan jangan dipilih lagi. Apabila dipandang perlu hadapkan dia ke depan Pengadilan. Adili dengan seadil-adilnya.
Rakyat boleh kecewa atau marah. Tapi tidak boleh sampai merusak, menjarah, membakar dan mempersekusi.
Mereka yang kemarin (27 – 30 Agustus 2025) telah melakukan persekusi, penjarahan dan pembakaran fasilitas umum dan aset pribadi seseorang kini telah ditangkap oleh Aparat Penegak Hukum.
Tentu saja mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan nya menurut Hukum. Dan menurut Hukum tidak ada perpindahan kesalahan atau perpindahan dosa. Niatnya semula untuk berdemo dan memprotes keadaan namun CARA-nya tidak tepat. Caranya malah melanggar Aturan dan Hukum.
Yakinlah bahwa Republik ini adalah milik seluruh Rakyat Indonesia. Janganlah dirusak. Apabila ada Pejabat yang tidak amanah atau berperilaku tidak layak dan tidak patut maka cukup diminta mundur, diberhentikan, diganti dan nanti, jangan dipilih lagi!!!
Kota Serang, 5 September 2025
*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik. Tinggal di Kota Serang