Oleh : H. Akhmad Jajuli
Dalam disebutkan bahwa setiap anggota keluarga (suami, istri, anak, menantu) yang bekerja (menghasilkan pendapatan) itu ibarat lampu yang menyala.
Semakin banyak anggota keluarga yang bekerja maka pendapatan dalam suatu keluarga akan semakin meningkat, semakin bertambah.
Maka, ibaratnya, cahaya di rumah itu akan semakin terang benderang. Sebaliknya, apabila dalam suatu rumah tangga hanya sedikit orang yang bekerja atau bahkan tidak bekerja (menganggur) maka ibarat cahayanya akan redup, semakin redup, dan bisa menjadi gelap gulita. Demikianlah perumpamaannya.
Dalam realita hidup sehari-hari biasa muncul sejumlah keluarga yang kehidupan ekonominya semakin membaik, karena mereka bekerja dan produktif. Namun tidak sedikit keluarga yang malah mengalami hal sebaliknya; penurunan pendapatan dalam suatu keluarga.
Terjadinya penurunan pendapatan dalam suatu keluarga itu karena banyak sebab, diantaranya: memasuki masa pensiun, tidak terpilih lagi menjadi anggota legislatif atau badan dan lembaga negara, korban PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), tidak diperpanjangnya masa kontrak kerja, karena perceraian, karena penyakit sosial (suka menyalahgunakan Narkoba, berjudi, berzinah, minuman-minuman berlebihan, berspekulasi valuta asing, bermain uang asing, bermain dukun, dan lain-lain).
Berikutnya menjadi korban bekerja di luar negeri, biaya pengobatan yang menguras uang banyak, kondisi fisik yang menua, kondisi kesehatan yang menurun, sakit yang berkepanjangan, menjadi korban kecelakaan lalu lintas, menjadi korban musibah kebakaran, menjadi korban bencana alam, menjadi korban bencana sosial serta menjadi korban fitnah.
ASN (Aparatur Sipil Negara) atau PNS (Pejabat Sipil Negara) Eselon I dan Eselon II atau Perwira Tinggi TNI atau Perwira Tinggi Polri ketika masih berdinas biasa memperoleh Pendapatan (Gaji dan sejumlah Tunjangan) di atas Rp50 Juta per bulan, namun setelah pensiun hanya menerima di bawah angka Rp10 Juta.
Hanya tersisa sekitar 70 persen dari Gaji Pokok (bukan dari prosentase Jumlah Pendapatan). Bisa dihitung sendiri berapa besarnya uang pensiun dari para Pejabat Eselon III, Pejabat Eselon IV dan para Pelaksana ASN. Demikian pula besarnya uang pensiun para Perwira Menengah, para Perwira Pertama, para Bintara serta para Tamtama di lingkungan TNI dan Polri.
Bisa dihitung juga besarnya Uang Pensiunan para mantan Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati serta Walikota. Padahal selama masih berdinas mereka memperoleh Gaji Pokok, aneka Tunjangan, Biaya Operasional (BO), Biaya Penunjang Operasional (BPO) serta pendapatan2 lain yang sah. Uang Pensiun mereka juga rata-rata di bawah Rp10 Juta.
Para Anggota DPR/MPR RI dan para Anggota DPD/MPR RI saat masih berdinas bisa memperoleh pendapatan per bulan sekitar Rp 200 Jutaan. Namun ketika mereka pensiun hanya menerima uang di bawah angka Rp 5 Juta.
Uang Pensiun akan sedikit bertambah apabila Periode Masa Jabatannya lebih dari satu masa jabatan. Ini masih mendingan. Nasib yang memprihatinkan justeru menimpa para mantan Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, para Kepala Desa dan para mantan Anggota BPD (Badan Permusyaratan Desa) yang sama sekali tidak memperoleh Uang Pensiun. Paling-paling mereka hanya memperoleh berupa “Uang Kadeudeuh” atau sekadar “Tali Kasih”. Itu pun hanya menerima sekali saja pada saat berhenti dari jabatan.
Para pegawai atau karyawan swasta ada yang memperoleh uang pensiun bulanan. Pendapatannya juga pasti menurun jauh bila dibandingkan dengan saat mereka masih bekerja. Sebagiannya lagi ada pegawai swasta atau karyawan swasta yang memperoleh uang Uang Tunjangan Hari Tua atau Pensiun (yang dibayar sekaligus).
Uangnya mungkin ditabung. Apabila investasinya berhasil maka tetap bisa menjaga sumber pendapatannya. Namun apabila investasinya gagal maka pasti tergolong kepada mereka yang pendapatannya menurun.
Di atas telah disebutkan sejumlah orang yang pendapatannya menjadi menurun atau bahkan hilang karena berbagai sebab. Terjadinya penurunan pendapatan itu ada yang sudah diantisipasi jauh-jauh hari sebelumnya. Namun ada yang tidak diantisipasi sebelumnya, karena tergolong mendadak atau tergolong musibah.
Numbu Umur
Negara wajib menjamin pendapatan yang layak bagi warga negaranya (Pasal 27 UUD Negara RI Tahun 1945). Maka Pemerintah menetapkan Pola Penggajian untuk ASN, PPPK, TNI, Polri serta Pendapatan para Pejabat dan Pegawai Kementerian dan Lembaga. Pemerintah juga menetapkan patokan UMR, UMP, UMK atau UM Sektoral, untuk para buruh.
Perusahaan-perusahaan Swasta masing-masing memiliki aturan tersendiri terkait Gaji, Honor dan Tunjangan para Pegawainya. Bagaimana dengan patokan pendapatan mereka yang bekerja di sektor informal (OJOL, pedagang kaki lima, dan sebagainya)? Tentu saja tidak ada patokan pasti.
Atas terjadinya penurunan pendapatan dalam suatu keluarga itu maka tiap-tiap orang dan tiap-tiap keluarga akan melakukan ikhtiar dan kreativitas masing-masing untuk masalah tersebut.
Tumbu dalam bahasa Sunda berarti sambungan tali. Numbu berarti menyambungkan tali-tali yang pendek agar menjadi tali yang panjang.
Adapun ‘Numbu-numbu Umur” dimaksudkan sebagai ikhtiar dan kreativitas dalam bidang ekonomi keluarga agar mampu bertahan hidup atau bahkan mampu meningkatkan katahanan ekonomi keluarga untuk terus mampu bertahan dan bahkan meningkatkan taraf ekonomi keluarga.
Bagi para pensiunan pasti telah menyiapkan diri terkait perekonomian keluarga mereka sebelum tiba masa pensiun (saat pensiun pada usia 55, atau 56, 58, 60, 65 atau saat usia 70 tahun).
Apalagi bagi mereka yang melalui tahapan MPP (Masa Persiapan Pensiun). Namun ada Pihak2 lain yang tidak punya kemampuan atau kesempatan menyiapkan perekonomiannkeluargakya pada suatu ketika terhentinya usia produktif mereka.
Bagi para pensiunan ASN/TNI/Polri/BUMN/BUMD atau para Pegawai Swasta tertentu yang tergolong mapan bisa jadi telah lama menabung, dan atau telah lama merintis usaha-usaha produktif. Dengan demikian menurunnya pendapatan ekonomi keluarga mereka telah dapat diatasi. Bentuknya bisa jadi berkebun, beternak, memiliki minimarket, restoran, salon kecantikan, atau bentuk usaha2 lainnya.
Saat ini telah ada beberapa perusahaan dan lembaga2 tertentu yang menyelenggarakan Diklat bagi para (calon) pensiunan : misalnya dalam bidang pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain.
Modal usahanya nanti dari hasil tabungan mereka, atau pinjaman dari Bank atau Lembaga Keuangan Bukan Bank atau dari pencairan Uang Tunjangan Hari Tua mereka.
Pada sisi lain tidak sedikit dari mereka yang mengalami penurunan pendapatan ekonomi keluarga itu yang belum mempersiapkan diri. Apalagi belum dimilikinya keterampilan diri dan modal usaha. Atau karena kejadian yang tiba2 (karena terjadinya musibah).
Kemampuan Daya Beli keluarga yang telah mengalami penurunan pendapatan ekonomi keluarga harus segera ditolong. Pertolongan atau Bantuan yang betul2 dapat menyelesaikan masalah ekonomi mereka tanpa menimbulkan masalah (baru).
Contohnya apa yang telah dilakukan oleh PUB (Perkumpulan Urang Banten) berupa “Kampung Bebas Rentenir” di Kabupaten Pandeglang dan di Kota Serang. Program mulia itu tentu saja harus terus diperluas ke Kabupaten/Kota lainnya di Provinsi Banten. Bahkan pada giliran berikutnya harus meluas ke Provinsi-provinsi lainnya.
Kegiatan ‘Numbu-numbu Umur’ yang dilakukan oleh warga masyarakat ini antara lain berupa : memproduksi dan menjual makanan dan minuman, berjualan gorengan, berjualan lotek, gado-gado, bakso, dll. Juga menjadi penjual sayur keliling, OJOL (Ojek Online) terutama yang menggunakan sepeda motor.
Harus dihindari cara-cara mengatasi masalah ekonomi keluarga yang justeru malah berpotensi menimbulkan masalah baru : berjudi on line, pinjaman on line, meminjam uang kepada rentenir, meminjam uang kepada koperasi simpan pinjam yang berbunga tinggi, dan langkah-langkah lainnya yang tergolong berpotensi menjadi negatif.
Untuk kalangan tertentu dibutuhkan KUR (Kredit Usaha Rakyat) atau kredit-kredit berbunga ringan lainnya. Namun bagi pihak tertentu pertolongan atau bantuan itu cukup berupa Pinjaman Dana Bergulir (revolving fund) dalam nominal antara Rp 500 Ribu, satu juta hingga lima juta saja.
Pihak BAZNAS, Pihak Pengumpul dan Penyalur ZIS (Zakat Infaq Shadaqah), Pengelola Dana CSR Perusahaan serta Pihak-pihak Yayasan tertentu harus fokus kepada persoalan yang sangat serius ini.
Akan sangat baik juga apabila ada sekelompok orang yang berpunya (kaya) yang melakukan Program Amal Sosial secara selektif sebagaimana telah dilakukan oleh KDM (Kang Dedi Mulyadi) dan sejumlah orang atau pihak lainnya.
Pengeluaran Ekonomi Keluarga itu ya sebagaimana argo taksi yang terus berjalan : kebutuhan listrik, gas, air, beras, jajan anak, biaya pendidikan, sabun, pasta gigi, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Solusinya ya wajib mengatasi “cash flow” ekonomi keluarga, terutama pada aspek “CASH IN” pemasukan keuangan keluarga. Jangan sampai meteran listrik rumah terus “bernyanyi”.
Apalagi kalo anak terus menangis, karena kurang makan dan minum atau kurang jajan. Na’udzubillahi mindzalik tsumana’udzubillah.
Kota Serang, 17 September 2025
*) Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan