Categories Opini

Bung Karno dan 80 Tahun Indonesia Merdeka

Oleh: Agus Iryana

“Imperialisme bukan sadja sistim atau nafsu menaklukkan negeri dan bangsa lain, tapi imperialisme bisa djuga hanja nafsu atau sistim mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain! Ia tak usah didjalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa pengluasan negeri dengan kekerasan sendjata, tetapi ia bisa djuga berdjalan hanja dengan ‘putar lidah’ atau jtara ‘halus-halusan’ sadja, bisa djuga berdjalan dengan tjara penetration pacifique.”

Demikian kutipan yang merupakan salah satu pemikiran kritis Bung Karno, mengenai imperialisme dalam buku Indonesia Menggugat (1930), yang merupakan pidato pembelaan Bung Karno di depan pengadilan Kolonial Belanda.

Dalam kutipan itu, Bung Karno menegaskan bahwa imperialisme tidak selalu hadir dalam bentuk penjajahan militer atau kekerasan fisik, tetapi bisa juga berwujud penetrasi ekonomi, budaya, dan politik secara halus dan sistematis — yang ia sebut sebagai penetration pacifique (penjajahan damai).

Artinya, bangsa dapat dikendalikan atau dieksploitasi tanpa penjajahan teritorial, cukup melalui pengaruh asing terhadap sistem ekonomi dan struktur kekuasaan lokal.

Pesan penting dari kutipan ini bahwa imperialisme bersifat fleksibel dan menyusup secara ideologis maupun struktural. Kemandirian ekonomi dan politik menjadi kunci utama dalam menghadapi bentuk-bentuk penjajahan modern.

Bung Karno ingin rakyat Indonesia waspada terhadap bentuk-bentuk pengaruh asing yang tampak lembut, tetapi sebenarnya mengandung dominasi dan eksploitasi.

Pemikiran ini sangat relevan hingga hari ini, terutama dalam konteks globalisasi, intervensi ekonomi asing, serta dominasi korporasi multinasional di negara berkembang.

Korelasi pemikiran Bung Karno tentang imperialisme dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini menjadi kajian cukup menarik, di saat ulang tahun kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia. Apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka?

Imperialisme Ekonomi di Era Modern

“…ia bisa djuga berdjalan hanja dengan ‘putar lidah’ atau jtara ‘halus-halusan’ sadja…”

Imperialisme ekonomi di era modern tidak lagi datang dengan senjata atau penjajahan fisik, melainkan melalui pengaruh sistemik yang tampak halus, seperti utang luar negeri, investasi asing, dan dominasi perusahaan multinasional atas sumber daya alam.

Fenomena ini membuat negara berkembang seperti Indonesia bergantung pada kekuatan ekonomi global, sehingga kebijakan nasional sering kali disesuaikan dengan kepentingan luar.

Contohnya, banyak proyek infrastruktur besar dibiayai oleh pinjaman asing, tetapi manfaat ekonominya lebih banyak mengalir ke pihak pemberi utang, sementara masyarakat lokal justru menanggung beban sosial dan lingkungan.

Pemikiran Bung Karno dalam Indonesia Menggugat menyoroti bahaya imperialisme tidak selalu bersifat militeristik, melainkan juga dapat menyusup secara halus melalui penetrasi ekonomi.

Gagasan tentang “penetration pacifique” menjadi sangat relevan di masa kini, ketika kedaulatan bangsa bisa tergerus oleh ketergantungan struktural. Oleh karena itu, semangat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) menjadi penting untuk membangun kemandirian ekonomi nasional.

Dengan memperkuat sektor industri, memberdayakan UMKM, dan melindungi aset strategis negara, Indonesia dapat melawan bentuk-bentuk penjajahan baru yang mengancam dari balik wajah globalisasi.

Indonesia saat ini begitu ketergantungan pada utang luar negeri. Dilansir dari Kompas, 15 Mei 2025, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso, mengatakan, posisi utang luar negeri Indonesia pada kuartal I 2025 tercatat sebesar 430,4 miliar dollar AS atau setara Rp 7.101 triliun (kurs Rp 16.500 per dollar AS). Angka ini meningkat dibandingkan dengan posisi ULN pada kuartal IV-2024 yang sebesar 424,8 miliar dollar AS.

Dominasi perusahaan asing atas sumber daya alam (tambang, perkebunan, energi) begitu luar biasa. Arus investasi besar pun kadang mengorbankan kedaulatan dan kesejahteraan lokal.

Contoh beberapa proyek strategis dibiayai negara asing, tetapi keuntungannya lebih banyak kembali ke investor asing. Warga lokal kadang hanya jadi penonton, atau bahkan terdampak oleh penggusuran, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan sosial.

Penjajahan Budaya dan Gaya Hidup

“…penetration pacifique…”

Penjajahan budaya di era modern hadir melalui cara-cara yang halus dan tidak terasa, sebuah bentuk penetration pacifique seperti yang dikemukakan Bung Karno. Budaya asing, terutama yang berasal dari negara-negara Barat, masuk melalui media sosial, film, musik, dan iklan yang mempromosikan gaya hidup konsumtif, individualistik, dan glamor.

Gaya hidup ini sering kali dianggap modern dan keren, sehingga ditiru tanpa filter oleh generasi muda. Akibatnya, banyak orang mulai meninggalkan nilai-nilai lokal, tradisi, serta cara hidup sederhana yang menjadi ciri khas budaya Indonesia.

Selain gaya hidup, dominasi budaya asing juga terlihat dalam preferensi terhadap produk dan bahasa. Produk luar negeri lebih dihargai dan dianggap lebih bergengsi dibandingkan produk lokal, meskipun kualitasnya serupa. Bahkan, penggunaan bahasa asing kini sering dianggap lebih elite, sementara bahasa daerah mulai terpinggirkan dan ditinggalkan.

Jika dibiarkan, fenomena ini akan mengikis identitas kebangsaan secara perlahan. Maka, seperti halnya penjajahan ekonomi, penjajahan budaya pun harus disadari dan dilawan dengan memperkuat jati diri bangsa melalui pelestarian budaya, penguatan pendidikan karakter, dan kebanggaan terhadap produk serta bahasa sendiri.

Pengaruh Asing

Pengaruh asing dalam politik dan kebijakan nasional merupakan bentuk lain dari imperialisme modern yang patut diwaspadai.

Banyak keputusan strategis negara, terutama dalam bidang ekonomi, dibuat dengan mempertimbangkan kepentingan investor atau lembaga internasional, bukan semata-mata demi kesejahteraan rakyat.

Perjanjian perdagangan bebas, misalnya, sering kali merugikan petani dan pelaku UMKM karena mereka harus bersaing dengan produk impor murah yang membanjiri pasar domestik. Alih-alih memperkuat ekonomi dalam negeri, kebijakan semacam ini justru memperlemah daya saing nasional.

Selain itu, kerja sama strategis dengan pihak asing kerap berlangsung dalam posisi tawar yang timpang, terutama dalam sektor pertambangan, energi, dan infrastruktur. Kontrak-kontrak jangka panjang dengan perusahaan multinasional seringkali memberi keuntungan besar kepada pihak luar, sementara dampak lingkungan dan sosialnya harus ditanggung oleh masyarakat sekitar.

Di sisi lain, intervensi lembaga keuangan internasional dalam pengelolaan fiskal dan moneter membuat ruang gerak pemerintah menjadi terbatas, bahkan dalam mengatur sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Semua ini menunjukkan bahwa meski secara politik Indonesia merdeka, secara kebijakan kita belum sepenuhnya berdaulat.
Jika kita meniru semangat Bung Karno, Sang Proklamator tidak hanya mengkritik, tetapi juga mendorong kemandirian ekonomi: berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Selain itu nasionalisme progresif: cinta Tanah Air tidak cukup lewat simbol, tetapi lewat keberpihakan pada rakyat kecil.

Selain itu kita harus menjaga persatuan dan kesadaran kolektif, bahwa musuh bangsa bukan hanya fisik, tetapi ideologis dan sistemik.

Di akhir tulisan, saya ingin menyampaikan kembali bahwa imperialisme di era modern tidak lagi hadir dalam bentuk penjajahan fisik atau pendudukan wilayah, melainkan melalui jalur ekonomi, budaya, dan kebijakan politik yang bersifat halus dan tersembunyi.

Melalui utang luar negeri, dominasi perusahaan asing, gaya hidup konsumtif, hingga intervensi lembaga internasional, bangsa Indonesia menghadapi bentuk-bentuk penjajahan baru yang menggerus kedaulatan dan jati diri secara perlahan namun pasti.

Inilah yang oleh Bung Karno disebut sebagai penetration pacifique—penjajahan yang berjalan dengan cara lembut, tetapi tetap membawa dampak destruktif.

Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk membangun kesadaran kolektif terhadap ancaman imperialisme gaya baru ini. Kemandirian ekonomi, pelestarian budaya, serta kebijakan politik yang berpihak pada rakyat harus menjadi pijakan utama dalam membangun bangsa.

Semangat berdikari yang digaungkan Bung Karno perlu dihidupkan kembali, bukan hanya sebagai semboyan, tetapi sebagai strategi nyata dalam menjaga kedaulatan bangsa di tengah arus globalisasi dan hegemoni kekuatan asing.

Kota Serang, 5 Agustus 2025

*) Penulis adalah Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Untirta

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like