Rekonstruksi Gerakan Literasi Banten
Oleh: H. Karna Wijaya
Forum Kajian Gedung Negara (FKGN) Banten sebagai instrumen curah gagasan, pemikiran dan konsep yang diinisiasi Gubernur Banten Andra Soni dan digawangi Prof Mufti Ali serta para jurnalis Banten, mengadakan Forum Group Discussion (FGD) rutin setiap bulan malam Jumat dengan berbagai tema guna mensuport dan menginjeksi strategi, program dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Banten.
Untuk yang ketiga kalinya pada Kamis malam (10/07/2025) FKGN mengangkat tema : Meningkatkan literasi di Banten di tengah tantangan global dengan menghadirkan narasumber Plt. Kepala BPS Banten Ridwan Hidayat dan Direktur Badan Riset Mathla’ul Anwar (BRIMA) Asep Rahmatullah serta dihadiri stakeholders dari berbagai kalangan termasuk saya ‘tamu tak diundang’.
Diskusi diawali dengan paparan Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Banten yang masih minim yakni 61,88 perpebruari 2025, jauh dibawah DIY (86,39), Babel (84,59) dan Sumbar (82,47).
Rendahnya IPLM Banten dibedah dari berbagai akar masalah atau hambatan.
Pertama, hambatan Kulutural dimana masyakat Indonesia termasuk masyarakat Banten kental dengan budaya dengar atau tonton, bukan budaya baca seperti di Eropa. Budaya dengar ini mengkristal dalam term ‘ngaji denge’ yang disampaikan moderator mengawali diskusi, yakni seseorang dalam mempelajari sesuatu hanya mendengarkan dari Narasumber/Guru/Dosen an sich, tanpa menelusuri lebih lanjut literatur atau sumber rujukan.
Hegemoni budaya dengar ini sangat kuat mencengkram masyarakat Banten melalui penuturan lisan atau dongeng. Sebagai contoh, kita sering didongengi orang tua tentang pertarungan antara Sultan Maulana Hasanudin dengan Prabu Pucuk Umun, dimana sang Sultan ‘menyulap’ santrinya menjadi ayam jago untuk beradu kuat dengan ayam ciptaan Pucuk Umun.
Dongeng turun temurun ini refresentasi logika mistik yang dikritik Tan Malaka dalam bukunya ‘Madilog’.
Pada waktu yang bersamaan (dengan kejadian dongeng tersebut), Nicollo Machiavelli mengguncang Eropa dengan bukunya ‘The Prince’ tahun 1519. Buku ini menurut hipotesa saya (sedikit banyak) ‘meniru’ Al -Tibr Al-Masbuk fi Nasihat Al-Muluk yang ditulis Imam Ghozali 5 abad sebelumnya (Ahmadie Thaha & Ilyas Ismail, Peringatan bagi penguasa, hikmah, 2000).
Hipotesa ini berdasar : kesamaan ditujukan kepada penguasa (AlGhozali kepada dinasti Saljuk, Machieavelli kepada Lorenzo Medici, penguasa di Florence Itali); point conten : panduan menjalankan, memelihara dan mempertahankan kekuasaan; situasi sosial politik lokal yang tidak kondusif; yang membedakannya adalah AlGhozali bersandar kepada argumen moral dan teologi Islam, Machiavelli berbasis sekuler menafikan moralitas.
Kedua, hambatan aksesibilitas yakni sulitnya menemukan sumber-sumber literasi seperti toko buku, perpustakaan dan sejenisnya. Hal ini dialami oleh generasi yang lahir pada dekade 1970-an kebawah dan tinggal di desa.
Fakta empiris saya alami, yang lahir dan besar di kawasan Pantai Carita. Saya harus menempuh jarak sekira 29 kilometeran dan naik angkutan umum dua kali, yaitu dari Carita ke Pasar Labuan (ada toko buku ‘Selat Sunda’ saat pasar Labuan belum dibangun plaza seperti sekarang) dan dari Pasar Labuan ke Pasar Menes, karena satu-satunya toko buku terdekat dan lumayan lengkap (saat itu) hanya Toko Buku ‘Monesa’ di Pasar Menes.
Untuk membaca koran saat itu, saya harus menunggu paling cepat pukul 11 siang, karena koran dikirim dari Serang ke distributor Pandeglang, kemudian ke agen di Labuan baru dikirim oleh loper koran ke Carita oleh ka Oji (loper koran di kawasan Labuan saat itu) dengan sepeda ontelnya.
Kesulitan aksesibilitas serupa ini, mungkin masih dialami oleh saudara-saudara kita yang tinggal di pelosok Banten saat ini.
Ketiga, minimnya sentra-sentra bacaan seperti perpustakaan dan toko buku. Kondisi perpustakaan yang kurang menarik dan koleksi buku yang berdebu serta sulitnya menemukan toko buku bacaan disinyalir menjadi salah satu hambatan sebagaimana dikemukakan peserta diskusi asal Universitas Syekh Nawawi dan Universitas Al Khairiyah.
Keempat, minimnya apresiasi terhadap pegiat literasi ditenggarai sebagai salah satu faktor rendahnya tingkat literasi di Banten.
Ketika seseorang memiliki gagasan atau pemikiran yang dituangkan secara sistematis dan komprehensif dalam catatan, kesulitan untuk mencetaknya menjadi buku, karena faktor biaya cetak.
Kalau pun sudah dicetak, kesulitan mengaktualisasi dan mensosialisasikan buku tersebut untuk menjadi bahan kajian atau diskusi. Problematika regresif ini, masih dialami oleh para pegiat literasi dan penulis produktif.
Tradisi Literasi Banten
Ditengah cekraman hegemoni budaya tutur dan dengar serta hambatan-hambatan akut tersebut di atas, serta logika mistik sebagai bagian dari politik kolonial Belanda, agar penduduk pribumi tidak terakses literasi seperti analisa Tan Malaka, Banten memiliki pionir yang menerabas hegemoni tersebut dalam dua aras literasi, yaitu Syekh Nawawi Albantani begawan literasi pesantern dan Jayadiningrat`s family begawan literasi sekolah formal sebagaimana dielaborasi Mufti Ali dalam reviu diakhir diskusi.
Aras literasi pesantren
Nawawi Banten yang dipuji Snouck Hourgonje sebagai orang Indonesia yang paling alim dan rendah hati, adalah pengarang paling produktif.
Disamping kitab tafsirnya yang terkenal (Tafsir Munir/Marah Labid), dia menulis kitab dalam setiap disiplin ilmu yang dipelajari di pesantren. Beberapa karya merupakan syarah atas kitab-kitab yang telah digunakan di pesantren dan menjelaskan, melengkapi atau terkadang mengkoreksi matan yang disyarahi.
Sejumlah syarahnya benar–benar menggantikan matan asli dalam kurikulum pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya masih beredar, dan 11 judulnya dari kitab–kitab termasuk 100 kitab yang paling banyak digunakan di pesantren. Nawawi berdiri pada titik peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren.
Dia memperkenalkan dan menafsirkan kembali warisan intelektualnya, dan memperkayanya dengan menulis karya–karya baru berdasarkan kitab–kitab yang belum dikenal di Indonesia pada zamannya.
Semua kiai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual mereka. Bahkan, Ahmad Khatib Minangkabau, sesepuh reformisme Islam Indonesia, pun termasuk muridnya (Martin Van Bruinessen, 2015:106-107). Hasil penelitian Van Bruinessen tersebut di atas, menunjukkan tingginya kapasitas dan kualitas literasi Syekh Nawawi yang diakui dunia, tak heran bila beliau dijuluki Sayyidul Ulama Al Hijaz (Samsul Munir Amin, 2009 : 71)
Keberlanjutan aras literasi pesantren di Banten diteruskan oleh generasi selanjutnya, sebut saja misalnya Abuya Dimyati Cidahu Pandeglang, yang oleh gurunya (KH. Dalhar Watucongol Magelang) dijuluki ‘Kitab banyak, yang berjalan’. Abuya Cidahu cukup produktif menulis dan menguraikan berbagai hal cabang ilmu agama, diantaranya kitab Madadul Hakamilmatin, yang menguraikan Sanad kitab Hikam, Tafsir Al-Quran, Ilmu Fiqih, Ilmu Tasawuf dan Talqin (Dzikir).
Namun karena qudrat dan irodat Allah SWT, semua hasil karya tersebut belum selesai dan belum sempat diterbitkan, keburu musnah, ketika terjadi kebakaran 1987 M di Cidahu. Hanya 7 kitab atau makalah (Mihajul ishthifa, Aslul qodr, Roshnur Qoshr, rachbul qofr I, Roshnur Qoshr II, Bahjatul qolaaid dan Al Hadiyyatul Jalaliyyah) yang sempat dicetrbitkan hingga saat ini (HM. Murtadho Dimyati, Manaqib Abuya Cidahu, 2007:99).
Ketika ditanya aliran tarekat yang dianutnya, beliau menjawab : ‘Tarekat aing mah, ngaji !’ sebuah jawaban sekaligus manifesto literasi Abuya Cidahu.
Manifesto literasi ini, berbanding lurus dengan realitas yang tampak dari jejeran berjilid-jilid kitab kuning nan tebal di atas meja berdinding bilik bambu diantara mushola dan kamar beliau, yang hanya dibatasi daun pintu papan kering kobong beliau.
Saya bersyukur mendapat anugerah melihat dan menyaksikan jejeran kitab-kitab itu sejak pertama berjumpa/bersilaturahmi di kobong beliau di tahun 1992 dan lebih intesif ‘ngaji non verbal’ selama sebelas Jum’at sekaligus bermakmum sholat Ashar dengan beliau di mushola kobongnya, hingga Jumat terakhir sekira Pkl. 14.00 WIB tanggal 3 Oktober 2003 mensolati jenazahnya bersama Bupati Pandeglang saat itu (HA. Dimyati Natakusumah kini Wakil Gubernur Banten) dan untuk terakhir kalinya, saya mencium tangan lembut jasad beliau.
Meski karya-karyanya musnah, namun pemikiran-pemikiran keagamaaan Abuya Cidahu terpatri dalam diri santri-santrinya seolah kitab banyak berjalan yang tersebar diseantero Banten bahkan pulau Jawa.
Diantara santrinya yang mengembangkan pemikiran Abuya Cidahu adalah Murtadho Hadi, menulis beberapa buku : Sastra Hizib, 2007; Jejak Spiritual Abuya Dimyathi, 2009;dan Tiga Guru Sufi Tanah Jawa, 2010, semunya diterbitkan Pustaka Pesantren.
Pengembangan literasi Abuya Cidahu mengingatkan kita kepada Syekh Abu Hasan Assadzili, yang ajaran dan pemikiran keagamaaannya tidak ditulisnya sendiri, tetapi ditulis oleh cucu muridnya Syekh Atha’illah As-Sakandary (Atho’illah murid Abu Musa Al Musri, dan Al Musri, murid sekaligus penerus Syekh Abu Hassan Assadzili).
Aras literasi sekolah
Provokasi Edward Douewes Deker dengan nama pena Multatuli, melalui buku ‘Max Havelaar’-nya yang menelanjangi kebusukan pemerintah Hindia Belanda dan penindasan atas negeri jajahan, menghasilkan perubahan besar di Hindia Belanda.
Max Havelaar menjadi amunisi propaganda Theodore Van Deventer tentang ‘balas budi ke negeri jajahan’ yang dikenal dengan Trias Van Deventer (Irigasi, edukasi dan emigrasi). Propaganda itu, direspon oleh Ratu Wilhelmina dengan membuka era baru ber-tagline ‘kewajiban etis dan tanggungjawab moral, negeri Belanda terhadap Hindia Belanda’.
Perubahan kebijakan ini bagai rahim ibu pertiwi yang melahirkan tokoh-tokoh literasi-intelektual meski masih terbatas dikalangan para priyayi diantaranya yaitu : Husein Jayadiningrat dan Achmad Jayadiningrat asal Banten serta RAA Wiranatakusumah asal Bandung (Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi, 1983:103).
Husein Jayadiningrat adalah doktor pertama pribumi lulusan Univeritas Leiden Belanda dengan disertasi Critische Beschouwing de Sadjarah Banten 31 Maret 1913 dengan Promotor Snouck Hurgronje. Selain disertasi yang menjadi fondamen referensi dalam metodologi penulisan sejarah di Indonesia, Wikipedia mencatat 9 karya ilmiah lainnya.
Begitu pula dengan Achmad Jayadiningrat (Bupati Serang 1901-1927), adalah birokrat intelektual yang responsif atas perubahan sosial politk pada zamannya. Dia digambarkan oleh Sutherland sebagai Bupati dengan kualitas literasi tinggi dan pemikiran progresif.
Mengobarkan nasionalisme dikalangan para bupati dan kaum priyayi serta ‘memanfaatkan jabatannya’ untuk menyokong gerakan nasionalis di Serang (Sutherland,1983: 144). Buku yang dia tulis sendiri ‘Herrineringen Van Pangeran Aria Achmad Jayadiningrat, yang diterbitkan di Amsterdam 1936` menguraikan pengalaman semasa menjabat menjadi ambetnar (ASN) dalam Binlands Bestuur (BB, pemerintah Hindia Belanda), menurut Mufti Ali, menjadi Best Seller di toko-toko buku Eropa.
Setali tiga uang dengan Achmad dan Husein Jayadiningrat, RAA Wiranatakusumah (Bupati Bandung) adalah kolega Achmad Jayadiningrat sesama berpendidikan Eropa, sesama Bupati yang berkarir sejak ambetnar di BB, sesama priyayi dan memiliki kualitas literasi tinggi dan keduanya menduduki jabatan tertinggi masa kolonial sebagai Penasehat Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Namun ajal tetap membedakan mereka, Achmad Jayadingrat wafat lebih dahulu, sedangkan RAA Wiranatakusamah terus berjibaku dengan para pejuang kemerdekaan dan ditugasi menjadi Menteri Dalam Negeri pertama dalam pemerintahan Soekarno.
Wiranatakusumah memiliki militansi literasi dan penulis produktif yang menghasilkan karya: Perjalananku naik haji ke mekkah (saya memiliki dan membaca buku ini), Islam dan demokrasi, Arti penting hari-hari besar Islam, Riwayat Kanjeng Nabi, Miraj Kanjeng Nabi, Khalwat, bahkan terlibat dalam pembuatan film ‘Loetoeng Kasaroeng’ pada 1926.
Rekonstruksi gerakan literasi
Solusi Jangka Panjang
Akar masalah minimnya tingkat literasi masyarakat Banten yang diidentifikasi dalam FGD di atas, diperlukan 4 solusi.
Pertama, menggelorakan gerakan literasi secara masif dan sistematis dalam algoritma pentahelix, misalnya para guru dan dosen disemua level bukan hanya memberikan penjelasan monolog atas materi ajar, tapi disertai dengan penugasan kepada siswa/mahasiswa dalam bentuk cerita yang ditulis dan membacakannya didepan kelas, resensi buku atau makalah yang dipresentasikan, atau metode sejenisnya dalam pardigma pedagogis.
Sebagai contoh empiris semasa saya menimba ilmu di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hampir semua dosen tiap mata kuliah memberikan tugas makalah minimal 20 halaman dan tiap halaman wajib mengutip atau mencantumkan minimal 3 sumber rujukan yang ditulis di catatan kaki. Bila tidak memenuhi syarat formal ini, mahasiswa tidak boleh presentasi dan tidak mendapat nilai alias tidak lulus.
Penyelenggaraan festival literasi yang intens, bukan hanya oleh DPK/pemerintah, tetapi juga oleh event organizer swasta seperti International Book Festival (IBF) tahunan yang diselenggarakan di International Convention Exibition (ICE) Serpong.
Dalam konteks peningkatan literasi birokrasi Banten, Gubernur Andra Soni yang memiliki genealogi literasi sebagai anak asuh salah satu dzuriyat RAA Wiranatakusumah, harus memulai tradisi, bahwa syarat untuk promosi jabatan di Pemrov Banten selain memenuhi syarat administratif kepegawaian dan integritas, harus atau telah menulis artikel atau makalah yang dipublis sesuai kompetensi ASN. Semakin banyak buku, makalah atau artikel yang ditulis dan dipublis, semakin mendapat prioritas untuk dipromosikan menduduki jabatan yang lebih tinggi dari semula.
Inilah meritokrasi sesungguhnya sekaligus solusi atas temuan Mufti Ali yang mengejutkan, bahwa banyak PNS yang tidak bisa membuat Kerangka Acuan Kerja (KAK) atau Term of Reference (ToR) .
Model gerakan literasi birokratik di atas, sebagai manifestasi konfirmasi koheren atas kompetensi dan literasi ASN Banten. Tentu gasasan ini ini bukan mengada-ada, tetapi memiliki justifikasi argumentasi, bahwa membangun literasi harus dimulai dari para birokrat dengan referensi empiris-historis sosok Achmad Jayadiningrat dan RAA Wiranatakusamah di atas.
Mereka adalah role model birokrat dengan kualitas literasi mumpuni sebagaimana testimoni Sutherland.
Gerakan literasi birokratik kontemporer, dipelopori mantan Sekda Banten, Kurdi Matin (kumpulan tulisannya dibukukan dalam ‘Birokrasi, Politik dan Kosmetik, Kegundahan Seorang Birokrat’) dan Mantan Kepala Litbangda Banten Ali Fadilah (ka Ali hadir saat FGD ini) semasa masih aktif sebagai PNS Pemptov Banten.
Tulisan mereka kerap menjadi triger diskursus pembangunan di ruang publik dan media cetak sepanjang Provinsi Banten berdiri hingga tahun 2016-an silam.
Tradisi literasi birokrasi dilanjutkan oleh PNS Pemrov hingga kini yang terkonfirmasi dengan banyaknya PNS Pemprov Banten berkualifikasi pendidikan doktor (Strata 3).
Bagi yang pernah mengenyam studi doktoral, pasti mengalami lika liku literasi. Harus melahap ratusan buku, makalah, jurnal, artikel; mengunyahnya dengan nalar dan kontemplasi dalam waktu yang relatif panjang; dan memuntahkannya dalam bentuk makalah, jurnal, artikel dan bermuara kepada disertasi yang dipresentasikan dihadapan publik melalui sidang terbuka.
Meskipun patut disayangkan, disertasi mereka tidak atau belum dicetak menjadi buku atau e-book hingga dapat dibaca dikalangan yang lebiah luas. Mungkin mereka kesulitan meluangkan waktu, untuk mengubah disertasi berformat akademik/ilmiah, kedalam format buku yang mudah dan enak dibaca.
Selain itu, banyak yang enggak ngeh, bahwa rekonstruksi gerakan literasi di Banten sesungguhnya telah dimulai Gubernur Andra Soni, yang saat kampanye disiarkan luas melalui TV, berulang-ulang mengutip pernyataan ‘Minke’ (tokoh utama dalam novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer), bahwa ‘kita harus adil sejak dalam pikiran’.
Selain itu, dibeberapa kesempatan saat saya mendampingi beliau, sering mengutip pemikiran-pemikiran Soekarno, diantaranya : ‘informasi dan data sangat penting untuk merumuskan kebijakan pembangunan dan mengangkat derajat kaum Marhaen’. Pernyataan ini disampaikan sembari menoleh kepada saya (karena beliau tahu saya mantan aktivis GmnI), saat melaporkan pembentukan dashboard pimpinan bersama Plt. Kadiskominfosp Arif Koper beserta jajaran; ‘Bila masih ada masyarakat yang menderita, maka ‘Revolusi Belum Selesai’.
Ini juga disampaikan dihadapan saya, dalam perbincangan saat menerima kunjungan Wakil Kepala BPS Pusat di pendopo gedung negara.
Begitu pula Wakil Gubernur Dimyati Natakusuma yang telah memulai gerakan literasi sejak beliau menjadi Bupati Pandeglang periode pertama.
Saya sering melihat beliau membaca buku dalam mobil dinas, sepanjang perjalanan kunjungan kerja ke pelosok-pelosok Pandeglang.
Testimoni ini saya kemukakan karena saya berinteraksi intensif semasa belum menjadi PNS, saya berada dalam (istilah Adi Sasono, pendiri ICMI dan Menkop di Kabinet Habibie) ‘oposisi loyal’ atau ‘loyalis kritis’, yang sering menggugat kebijkan-kebijakannya.
Beliau sering menulis dimedia, salah satu tulisannya elaborasi politik pembangunan dengan akronim ‘Pandeglang BERKAH=Bersih, Elok, Ramah, Kuat, Aman dan Hidup’. Tulisan ini saya respon dengan artikel di rubrik opini Harian Fajar Banten saat itu, dengan judul ‘Cukupkah membangun Pandeglang dengan moto ?’
Kedua, mempermudah aksesibilitas literasi dengan mengintegrasikan layanan perpustakaan diseluruh Wilayah Provinsi Banten melalui platform digital. Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Banten memiliki layanan pinjaman via online dalam aplikasi ‘Batu Pusaka’, DPK Kota Serang memiliki ‘pintar buku’, DPK Kota Tangerang memiliki ‘Benteng pustaka’ begitu pula DPK Kabupaten/kota lainya.
Pengiriman buku kepada peminjam, dapat dititipkan kepada kurir perusahaan pengiriman barang dan logistik dalam ekosistem E-Comerce, tanpa ongkos kirim sebagai bentuk CSR.
Begitu pula pengembalian buku dari peminjam, dapat dititipkan kepada awak kendaraan Damri yang telah beroperasi (minimal 1 trip tiap hari) dan menjangkau hampir seluruh wilayah Banten termasuk wilayah selatan Banten.
Tentu pemanfaatan CSR ini diawali dengan kerjasama Pemprov melalui DPK dengan Asperindo (Asosiasi perusahaan jasa pengiriman ekspres Indonesia) yang ada di Banten (kebetulan beberapa waktu lalu saya pernah mewakili Pemprov Banten menghadiri dan membuka Musda Asperindo DPD Banten) dan Perum Damri yang semakin banyak memiliki rute di wilayah Banten.
Ketiga, memperbanyak sentra-sentra bacaan dan membuatnya lebih menarik, misalnya: Perpustakaan sekolah/perguruan tinggi direvitalisasi dengan desain ruang perpustakaan yang estetis dan terintegrasi dengan kafe.
Saya pernah berkunjung ke perpustakaan Kedubes Belanda di Jakarta, sangat estetis, sejuk, bersih dan nyaman serta bikin betah berlama-lama sembari membaca. Memperbanyak e-book, namun harus dipastikan terkait dengan hak kekayaan intelektual penulis/penerbitnya.
Begitu pula dengan toko-toko buku dapat diberikan insentif ‘bebas pajak’ atau ‘bebas retribusi’ misalnya, atau bantuan lain seperti pendampingan pemerintah terhadap UMKM.
Sekedar bernostalgia dan memutar memori literasi, pada dekade 1990-an, banyak toko-toko buku bacaan di tempat startegis: di pasar Labuan ada toko Buku ‘Selat Sunda’; di Pasar Menes ada Toko Buku ‘Monesa’, di Pasar Pandeglang ada toko buku di Lt 2 Plaza Pandeglang; di pasar royal Serang ada toko buku Lismigo, sebagai Gramedia-nya Serang saat itu, yang tokonya berjejer disamping kanan swalayan Roberta; di perempatan lampu merah Ciceri (arah diagonal dulu terminal Bis Serang sebelum pindah ke Pakupatan (sekarang taman dan kantor Diskominfosantik Kota Serang) ada toko buku yang berjejer dengan kios buah-buahan yang sekarang menjadi Carrefur/Transmart; dan disebrangnya ada toko buku ‘Yury’ yang kini menjadi restoran McDonald; di dalam kampus UIN SMHB selain perpustakaan ada toko buku Pa Samsul dibelakang gedung unit kegiatan mahasiswa Gesbica dan Sigma ke arah pintu keluar kampus sebelah barat (menghadap Transmart yang sekarang pintu itu ditutup pagar tembok).
Toko-toko buku itu sudah tiada dan tinggal kenangan, kalau pun masih ada, sepi dan kurang pengunjung. Mungkin mereka beralih ke toko online atau tergerus oleh toko buku daring.
Saya belum mendapat informasi dan data berapa ratus eksemplar buku, tiap bulan/tahun yang dibeli oleh orang Banten via toko online.
Ini kewenangan BPS untuk menarik data jumlah buku yang dibeli orang Banten via marketplace seperti tokopedia, sophee Indonesia, dan lainnya.
Keempat, harus dimulai tradisi apresiatif terhadap pegiat literasi atau penulis produktif oleh semua kalangan. Misalnya Pemprov melalui DPK memberikan Banten Book Award kepada penulis produktif dengan kategorisasi usia atau level (siswa SLTA dan Umum) disertai dana stimulus dengan indikikator penilaian obyektif, semacam Nobel sastra, Pulitzer, national book Award dan lainnya
Benefit Gerakan literasi
Terbukti dalam setiap zaman dan segala bangsa, bahwa gerakan literasi melahirkan pemikir-pemikir besar yang pikirannya dapat mengubah kondisi masyarakat. Sebagai random sampling: Alghozali dengan ‘Ihya Ulumudin’-nya ‘mendamaikan’ konsep fikih dan tasawuf yang oleh sebagian ulama dianggap memiliki garis demarkasi yang tegas; pemikiran Adam Smith dengan ‘Wealth of Nation’-nya menjadi fondamen pengembangan ekonomi hingg saat ini; Karl Marx dengan ‘Das Capital’-nya menginspirasi kaum proletar dunia
Untuk melawan kapitalisme;
Tan Malaka dengan buku ‘Masa Aksi’-nya menginspirasi Soekarno menjadi ‘Manusia Masa’; Soekarno dalam artikel ’Nasakom’nya menggunakan Dialektika Hegel sebagai pisau analisa dalam memotret realitas ego kelompok dan afiliasi ideologi-sosial-politik saat itu, sebagai ‘keterjebakan kelompok-kelompok gerakan’ dalam politik kolonial devide et impera menjadi barrier perjuangan kemerdekaan Indonesia (sebagai antithesa).
Maka persatuan anasir nasakom (nasional) adalah anti thesa politik kolonial yang dapat menghasilkan sinthesa kemerdekaan Indonesia. Sinthesa (persatuan nasional) ini menjadi fakta sejarah, salah satu pendorong kemerdekaan Indonesia.
Nota pembelaan (pledoi) Soekarno yang disampaikan di Landraad (pengadilan) Bandung atas dakwaan haatzaiartikelen (pasal penyebar kebencian kepada pemerintah), dengan judul ‘Indonesia Menggugat’, sedemikian menyejarah dalam dunia literasi Indonesia.
Pledoi itu disusun dari kutipan 118 nama pengarang; 60 buku berbahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Indonesia, Sunda dan Jawa;195 catatan kaki berisi penjelasan dan bibliographi (Suherman, Koran Republika, 7 Juli 2018). Ini menunjukan tingginya kadar literasi Soekarno di zaman orang yang melek huruf sangat rendah.
Landscape geopolitik global saat ini, yakni perang AS, Israel dan sekutunya dengan Iran dan Negara Timur Tengah lainnya;perang dagang yang dipicu Donald Trump; polarisasi negara-negara dalam pertahanan, politik dan ekonomi; telah diramal 3 dekade yang lalu oleh Samuel P. Huntington dalam The clash civilitaziton and the remaking Word order (Benturan antar perdaban). Tak heran, bila buku ini bukan hanya karya intelektual atau hasil penelitian, tetapi manifesto skenario politik global AS dalam kemasan ilmiah.
Menilik dari random sampling para cendikiawan di atas, rekonstruksi gerakan literasi bukan hanya untuk meningkatkan IPLM, tetapi entry point membangun peradaban Masyarakat, khususnya masyarakat Banten yang lebih maju dalam frame Visi Gubernur dan Wagub Banten, yakni Banten Maju sebagai primus inter pares diantara 2 frase visi lainnya.
Mari kita mulai gerakan literasi dari diri dan keluarga kita ! sebagaimana disampaikan peserta FGD dari Universitas Serang Raya (Unsera).
Kota Serang, 14 Juli 2025
*) Penulis adalah Doktor Hukum dan Sekdis Kominfo Provinsi Banten