BantenBlitz.com – Di tengah derasnya arus teknologi yang hampir menenggelamkan suara tradisi, ada seorang lelaki di sudut Pandeglang yang tetap setia memukul bedug bukan hanya sebagai alat ibadah, tapi sebagai penjaga warisan bangsa.
Dari bengkel sederhananya, Sarudin seorang pengrajin bedug tradisional, warga Kampung Karang Tanjung RT/RW 003/004 Kelurahan Pagadungan, Kecamatan Karang Tanjung, Kabupaten Pandeglang, Banten, menciptakan dentuman yang melawan sunyi, membuktikan bahwa satu tangan dan satu bedug mampu menepis gelombang digitalisasi dengan gaung sejarah dan kebanggaan budaya.
Sejak usia 4 tahun, Sarudin sudah akrab dengan aroma serbuk kayu kelapa tua dan sentuhan kulit kerbau hasil olahan. Kini, di usia ke 50, ia tak hanya sukses menyalakan kembali gaung bedug hingga ke luar negeri, tapi juga menyalurkan kecintannya pada seni ini ke generasi muda—sebuah upaya perlawanan halus pada arus zaman.
Tak sekadar alat pemanggil salat, karya tangan Sarudin sudah hampir setengah abad menghiasi masjid, sekolah, hingga pentas budaya, menjadi artefak hidup yang menyatukan spiritualitas dan seni.
“Awal mulanya saya tertarik menjadi pengrajin bedug, karena bedug merupakan alat seni tradisional turun temurun dari nenek moyang kita dulu, ” katanya saat ditemui wartawan pada Selasa, 5 Agustus 2025.
Setelah ia menyelesaikan satu bedug dalam hitungan lima hingga enam hari, hasilnya dijual antara Rp4-5 juta per buah atau paket spesial Rampak Bedug seharga Rp.18 juta untuk kebutuhan parade dan kesenian tradisional.
Permintaan memang kian menipis, tergeser pelan-pelan oleh speaker dan aplikasi digital. Tapi layaknya suara bedug yang bergema meski sunyi, begitu pula semangat Sarudin, pantang hilang. Bila pesanan sepi, ia memilih mengajari anak-anak desa, menanamkan kecintaan pada warisan nenek moyang.
“Alhamdulillah kalo pesanan mah ada aja, walaupun agak sepi ya sekarang. Tapi kalo lagi gak ada pesanan, biasanya ngajarin anak-anak atau warga sini biar ada regenerasinya pengrajin bedug ini. Jadi tetap bisa di lestarikan,” katanya.
Keuntungan memang tak menentu, kadang bisa meraup hingga Rp150 juta saat pesanan ramai, kadang hanya cukup untuk dapur.
Di tangan Sarudin, bedug bukan sekadar benda, ia adalah dentuman hati, identitas budaya, dan pesan agar kemajuan tidak melupakan akar. Gema bedug Pandeglang mungkin tak lagi mengalahkan riuh teknologi, namun selama pengrajin seperti Sarudin masih setia memukul tradisi, suaranya takkan pernah benar-benar padam.
Dan dari bengkel kayu sederhana itu, lahir harapan agar dentuman bedug terus bergelora, mengajak generasi baru untuk tak sekadar menjadi pendengar, tapi juga pemukul cerita masa depan.(Red/Difeni)