Categories Hukum dan Kriminal

Konflik Agraria Pulau Sangiang, Perjuangan Warga Melawan Ancaman Pengusiran

BantenBlitz.Com – Pulau Sangiang di Kabupaten Serang kembali menjadi pusat perhatian setelah konflik agraria selama lebih dari tiga dekade merebak.

Konflik ini mencuat setelah adanya kekhawatiran masyarakat terhadap perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki PT Pondok Kalimaya Putih (PKP).

Pada Selasa, 20 Mei 2025, lembaga Pena Masyarakat menginisiasi pertemuan mediasi dengan Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Serang sebagai upaya mencari solusi bagi konflik yang telah berlangsung sejak 1994 ini.

Mad Haer Effendy, Direktur Pena Masyarakat, menyatakan bahwa pertemuan tersebut bertujuan untuk menyampaikan aspirasi warga yang selama ini merasa terpinggirkan akibat keberadaan perusahaan swasta di pulau tersebut.

“Kami hadir mewakili masyarakat Pulau Sangiang untuk menyampaikan bahwa konflik ini sudah berlarut-larut. Dan kami meminta kepada ATR/BPN agar tidak memperpanjang HGB milik PKP di Pulau Sangiang,” ujarnya kepada wartawan.

Ia menambahkan bahwa meskipun hasil dari diskusi ini belum final, langkah ini merupakan awal yang penting dalam membuka ruang dialog dan mencari solusi yang adil.

Selama delapan tahun terakhir, Mad Haer mengaku telah sering mengunjungi Pulau Sangiang dan menyaksikan langsung berbagai permasalahan yang dihadapi warga, mulai dari kriminalisasi, bencana alam, hingga minimnya perhatian dari pemerintah maupun perusahaan.

“Setiap tahun ada saja kasus kriminalisasi, dan saat bencana pun masyarakat tak mendapat perhatian. Ini menunjukkan bahwa konflik ini tidak berpihak pada kepentingan umum, melainkan pada kepentingan pribadi perusahaan,” katanya.

Menurutnya, PT PKP berambisi menguasai pulau secara penuh, padahal warga setempat telah lama hidup dan menggantungkan hidup dari hasil bumi pulau tersebut.

“Dulu warga bisa hidup dari kebun, ada beras, sayur, buah. Sekarang tinggal kelapa. Itupun satu-satunya hasil panen yang tersisa,” ungkapnya.

Selain itu, Mad Haer mengungkapkan adanya intimidasi yang dilakukan terhadap warga agar meninggalkan pulau.

“Mereka didatangi, dirayu, bahkan dipaksa untuk hengkang. Alasannya akan diberi ganti rugi, tapi tidak ada jaminan hidup di daratan akan sama. Padahal mereka sudah nyaman tinggal di pulau,” jelasnya.

Pulau Sangiang memiliki sejarah panjang dan keterikatan kuat dengan warga adatnya. Namun, keberadaan status hukum sebagai kawasan Taman Wisata Alam (TWA) dan kepemilikan HGB oleh pihak swasta membuat eksistensi warga dianggap tidak sah.

“Secara negara, mereka dianggap pendatang gelap. Padahal mereka hidup dan membangun kehidupan di sana jauh sebelum adanya klaim-klaim ini,” tegas Mad Haer.

Data dari Pena Masyarakat menunjukkan bahwa saat ini hanya tersisa sekitar 20 kepala keluarga (KK), atau sekitar 80 jiwa, yang bertahan di Pulau Sangiang. Pada 1990-an, jumlah KK mencapai lebih dari 120 orang. Penurunan ini disebabkan oleh tekanan dan ketidakpastian hukum yang terus berlangsung.

“Mereka perlahan menghilang karena tekanan dan ketidakpastian hukum. Harusnya mereka bisa berkembang, tapi yang terjadi justru sebaliknya,” tambahnya.

Perhatian pemerintah terhadap konflik ini pun dinilai minim. Bantuan yang diterima warga hanya bersifat darurat, seperti saat bencana tsunami melanda.

“Bantuan infrastruktur tak ada sama sekali. Pemerintah hanya memberi sembako, tapi tak pernah hadir membangun atau memberikan kepastian hukum atas tanah mereka,” keluh Mad Haer.

Sementara itu, Kasi Pengendalian dan Penanganan Sengketa BPN/ATR Kabupaten Serang Faturahman enggan memberikan keterangan pasti terkait hasil mediasi tersebut.

Ia menegaskan bahwa proses mediasi masih berlangsung dan belum mencapai kesepakatan final sehingga ia khawatir informasi yang diberikan bisa menimbulkan ketidaktepatan. (Red/Dwi)

 

Masyarakat Pulau Sangiang dan Lembaga Pena Masyarakat datangi Kantor ATR-BPN Kabupaten Serang l Dok. Dwi MY-BNC

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like